Rabu, 04 Desember 2013
Danau Tempe
Danau Tempe adalah salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan yangbanyak dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Danauyang luasnya 13.000 hektar ini, jika dilihat dari ketinggiantampak bagaikan sebuah baskom raksasa. Danau ini menjadi sumberpenghidupan, mencari ikan, tidak hanya bagi masyarakat KabupatenWajo, tapi juga sebagian masyarakat Kabupaten Soppeng dan Sidrap. Disepanjang tepi danau, tampak perkampungan nelayan bernuansa Bugisberjejer menghadap ke arah danau.
Keistimewaan
Danau Tempe merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di dunia, karena dasar danau ini menyimpan banyak sumber makanan ikan. Selain itu, danau ini juga memiliki spesies ikan tawar yang tidak dapatditemui di tempat lain. Hal ini diperkirakan karena letak danauini berada tepat di atas lempengan Benua Australia dan Asia.
Ditengah-tengah Danau Tempe, tampak ratusan rumah terapung milik nelayanyang berjejer dengan dihiasi bendera yang berwarna-warni. Dariatas rumah terapung itu, wisatawan dapat menyaksikan terbit danterbenamnya matahari di satu posisi yang sama, serta menyaksikanberagam satwa burung, bunga-bungaan, dan rumput air yang terapung diatas permukaan air. Di malam hari, para pengunjung dapatmenyaksikan indahnya rembulan yang menerangi Danau Tempe sambilmemancing ikan.
Disetiap tanggal 23 Agustus diadakan festival laut atau juga seringdisebut Maccera Tappareng (mensucikan danau) yang ditandai denganpemotongan sapi yang dipimpin oleh ketua nelayan setempat. Dalam acaraini, para pengunjung dapat menyaksikan berbagai atraksi wisata yangsangat menarik, seperti lomba perahu tradisional, perahu hias,permainan rakyat (misalnya, lomba layangan), pemilihan ana? dara(gadis) dan kallolona (pemuda) Tanah Wajo, padendang (menabuh lesung),pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan olehpara waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya.Pelaksanaan festival ini dimaksudkan agar nuansa kekeluargaan danpersatuan antar sesama nelayan tetap terjaga dengan prinsip ?3-S?,yaitu Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi (saling menyegani, salingmenasehati, dan saling menghargai). Dengan menyaksikan festival ini,para pengujung dapat mengetahui tentang kebudayaan masyarakat Bugis diSulawesi Selatan, khususnya Bugis Wajo.
Lokasi
Danau Tempe terletak di Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Akses
Danau ini terletak 7 km dari Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo.Untuk mencapai tempat ini, dari Kota Sengkangke Sungai Walennae dapatditempuh melalui jalur darat dengan menggunakan mobil pete-pete(mikrolet). Dari Sungai Walennae menuju ke Danau Tempe ditempuh selama30 menit dengan menggunakan perahu motor atau katinting, denganbiaya sekitar Rp. 50.000,- hingga Rp. 75.000,- per-orang.
Senin, 02 Desember 2013
sejarah La Maddukelleng
Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe
Inilah La Maddukelleng :
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
Mengenal Lebih Jauh Kebudayaan Suku Bugis
Mengenal Lebih Jauh Kebudayaan Suku Bugis
Sulawesi Selatan adalah tempat asal dari
suku Bugis yang dapat dilihat dari bahasa dan adat istiadatnya. Hal ini
bermula sejak abad ke-15 yang mana banyak perantau dari Melayu dan
Minangkabau yang datang ke Gowa dan mengalami akulturasi budaya. Mereka
inilah yang kemudian disebut sebagai Suku bugis. Meskipun begitu, pada
dasarnya mereka adalah kaum perantau, mewarisi sifat dari suku induknya,
yakni Melayu dan Minangkabau. Hal ini membuat suku Bugis tersebar di
berbagai wilayah di Nusantara, seperti di Kalimantan Timur dan Selatan,
Sulawesi Tengah dan Tenggara serta Papua. Bahkan saat ini suku Bugis ada
pula yang merantau jauh hingga ke luar negeri, yakni Malaysia,
Singapura dan Filipina.
Suku Bugis hidup dari berburu, menangkap
ikan, bertani, beternak dan kerajinan. Mereka yang tinggal dipegunungan
hidup dari bercocok tanam, sedang yang dipesisir hidup sebagai nelayan.
Mereka dikenal sebagai pedagang barang kelontong; juga terkenal sebagai
pelaut yang sering merantau & menyebar ke seluruh Indonesia. Di
daerah rantau mereka membuat komunitas sendiri dan kuat. Untuk
transportasi digunakan kuda, sapi (di darat), rakit atau sampan (di
sungai), lambok, benggok, pinisi & sandek (di laut). Pakaian
tradisional mereka bernama Wajo Ponco, yang diperkirakan muncul dari
pengaruh Melayu. Sekarang baju ini hanyak untuk upacara-upacara, tarian
dan penjemputan secara adat. Bahasa mereka adalah bahasa Ugi yang
terbagi dalam beberapa dialek, seperti Luwu, Wajo, Bira, Selayar,
Palaka, Sindenneng dan Sawito. Makanan utama mereka yaitu beras dan
jagung. Mereka memiliki minuman khas seperti tuak, sarabba dan air tape.
Di kalangan orang Bugis masih hidup
diantara aturan-aturan yang dianggap luhur dan keramat yang dinamakan
Panngaderreng atau panngadakkang. Diartikan sebagai keseluruhan norma
yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah-laku terhadap sesama
manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik (etika).
Orang Bugis sangat menjujung harga diri
atau dalam bahasa bugisnya disebut “siri” (malu). Dalam hal ini, barang
siapa yang menyinggung perasaan mereka atau melanggar adat, maka harus
mendapatkan sanksi adat seperti diasingkan, diusir atau bahkan
dilenyapkan.
Salah satu adat istiadat suku Bugis yang
unik adalah adat pernikahannya. Dimana dalam adat pernikahan orang
Bugis harus melawati beberapa tahap.
Pertama, lettu (lamaran) adalah
kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk
menyampaikan keinginannya melamar calon mempelai perempuan.
Kedua, Mappettuada (kesepakatan
pernikahan) adalah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan
untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,
balanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya. Namun saat ini,
mappettuada biasanya langsung juga dibahas ketika melakukan lamaran.
Langganan:
Postingan (Atom)